![]() |
Ilustrasi (foto : Habib Asyrafy) |
Segunung benci di kepalamu tidak akan
pernah
cukup untuk membunuh rindu di dadamu
Berhentilah menyiksa dirimu
__suci indriyani__
Membeci
adalah cara tersempurna untuk melupakan saat lapang, rela, dan ikhlas hanya
mampu kutempatkan pada lidah, sedang di hati gagal. Terlukanya
aku atas fakta kamu berbalik arah memunggungiku bukanlah alasan utama aku
membenci, melainkan karena sialnya aku setiap kali harus gagal melupa. Aku tidak
berusaha, hanya tak ingin berlama-lama menyelam pada segala tentangmu. Tak adil
kan jika aku saja yang mengenang sedangkan kamu tidak?
454
hari yang lalu sudah kuputuskan untuk menata puing-puing hati yang bertebaran
akibat ledakan besar yang kusebut perpisahan. Semua potremu dalam ponselku
kuhapus tanpa tersisa. Kubersihkan segala hal yang beromakan kamu. Nomor
telepon, media sosial dan apapun yang membuat kita terhubung. Semua tentangmu
harus kubuat lenyap. Aku sungguh ingin menjauhi duniamu tanpa
pengecualian.
Pelan-pelan
kurekatkan patahan hatiku sendiri. Menenangkan gundahku sendiri. Bahwa aku
lebih kuat berpijak tanpamu. Aku telah menikmati semua kesedihan sampai pada
tetesan terakhir di ujung mata. Hatiku tak lagi selemah yang kamu kira. Pada
akhirnya aku lega. Aku lega kita tak lagi bersama. Aku lega bisa mengatakan
dengan tenang, aku tak lagi mencintamu.
Pernahkah
kamu bertanya apakah aku baik-baik saja?
Sebelum
sampai pada tahap ini, aku pernah berada pada posisi paling berat untuk sembuh
pada patah hati. Aku pernah ada di antara perasaan ingin menahanmu pergi,
tetapi aku tertahan ego yang amat tinggi. Aku terluka, tak perlu ditanya. Pada
saat memutuskan untuk membeci, aku dihadapkan pada rindu yang paling pilu. Aku
tak kuasa untuk menolak. Sekuat apa pun aku ingin keluar dari rindu yang
membuat aku muak, semakin kuat pula seluruhku terisap. Aku hilang kendali.
Inginku berlari ke arahmu. Bersandar di bahumu. Memintamu untuk tetap tinggal
hingga rindu tak lagi menjadi prasasti.
Namun, haruskah aku datang mengemis hanya agar satu rindu terobati? Pantaskah aku menjadi manusia sehina itu? Aku memilih diam. Memilih membiarkan terbunuh rindu atau membunuh rindu. Kemudian, kedatangan rindu berikutnya tak pernah lagi kuladeni. Aku mendiaminya, sampai ia bosan dan menghilang dengan sendiri.
Kepadamu,
terimakasih telah mengantarkanku dengan sengaja pada fase sebelumnya hingga aku
harus mengorbankan 10.992 jam waktu dalam hidupku untuk melakukan petualangan
menghapus luka. Hingga aku menyadari betapa tangguhnya aku bisa berjuang sampai
pada titik ini, berdamai dengan masa lalu dan memaafkanmu tanpa dipinta.
Tahukah
kamu?
Mendengar
namamu disebut tak lagi bisa menggetarkan hatiku seperti dahulu.